Selasa, 25 Juni 2013



Sore hari saat sang surya sudah bergegas menuju ufuk barat, riuh denting suara gamelan gong disertai semerbak wewangian dupa seakan menyelimuti seluruh sudut penjuru Pura Dalem Pasupati Desa Kertabuana, karena tepat hari ini (25/06/2006) merupakan piodalan. umat Hindu masyarakat desa Kertabuana satu persatu datang ke pura dengan balutan baju adat bali (mengenakan baju kebaya dengan selendang melingkar dipinggang untuk kaum perempuannya dan udeng dikepala melingkar disertai baju serta sarung khas pakaian adat bali untuk pakain kaum lelakinya), dan tak ketinggalan tentunya dengan membawa aturan (sesajen) dan sarana prasarana persembahyangan (kwangen, bunga berbagai rupa dan dupa), entah mengapa setibanya masuk dipelataran pura tepat di Utama Mandala mata ini tertuju pada dua sosok pria tua yang bisa dikatakan sepuh umat Hindu di Desa ini, mereka duduk tepat di ujung disebelah kiri pura sambil menggenggam sebuah mikrophone dan membaca sebuah teks sastra yang sudah cukup lusuh. Dua sosok pria ini bernama pak widari dan pk sinah, pria dengan kisaran usia antara 70 sampai dengan 80 tahun.  pak widari sudah sekitar 5 tahunan benar-benar menggemari kegiatan ini, itu berdasarkan pengakuannya saat berbincang disela-sela membaca sloka, sedangkan pak sinah penulis tidak tau karena tidak ada kesempatan untuk ngobrol. Terbesit dalam benak ini diusia mereka saat ini sampai kapan mereka akan tetap bisa ngayah mekidung? Sedangkan tidak ada satupun terlihat disebelah kanan dan kirinya orang muda yang melakukan kegiatN ini, padahala mekidung dan pembacaan sloka ini adalah pelengkap dalam upacara Yadnya. Apakah memang orang tua saja yang boleh melakukan ini?, atau tak ada pemuda yang berminat menjadi penerusnya, lalu bagaimana di masa depan, siapa yang akan melanjutkan? Sebuah pemikiran bagi penulis dan terbesit untuk belajar agar bisa menjadi seperti mereka dan menjadi penerusnya,,,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar