Sore hari saat sang surya sudah bergegas menuju ufuk barat, riuh denting suara gamelan gong disertai semerbak wewangian dupa seakan menyelimuti seluruh sudut penjuru Pura Dalem Pasupati Desa Kertabuana, karena tepat hari ini (25/06/2006) merupakan piodalan. umat Hindu masyarakat desa Kertabuana satu persatu datang ke pura dengan balutan baju adat bali (mengenakan baju kebaya dengan selendang melingkar dipinggang untuk kaum perempuannya dan udeng dikepala melingkar disertai baju serta sarung khas pakaian adat bali untuk pakain kaum lelakinya), dan tak ketinggalan tentunya dengan membawa aturan (sesajen) dan sarana prasarana persembahyangan (kwangen, bunga berbagai rupa dan dupa), entah mengapa setibanya masuk dipelataran pura tepat di Utama Mandala mata ini tertuju pada dua sosok pria tua yang bisa dikatakan sepuh umat Hindu di Desa ini, mereka duduk tepat di ujung disebelah kiri pura sambil menggenggam sebuah mikrophone dan membaca sebuah teks sastra yang sudah cukup lusuh. Dua sosok pria ini bernama pak widari dan pk sinah, pria dengan kisaran usia antara 70 sampai dengan 80 tahun. pak widari sudah sekitar 5 tahunan benar-benar menggemari kegiatan ini, itu berdasarkan pengakuannya saat berbincang disela-sela membaca sloka, sedangkan pak sinah penulis tidak tau karena tidak ada kesempatan untuk ngobrol. Terbesit dalam benak ini diusia mereka saat ini sampai kapan mereka akan tetap bisa ngayah mekidung? Sedangkan tidak ada satupun terlihat disebelah kanan dan kirinya orang muda yang melakukan kegiatN ini, padahala mekidung dan pembacaan sloka ini adalah pelengkap dalam upacara Yadnya. Apakah memang orang tua saja yang boleh melakukan ini?, atau tak ada pemuda yang berminat menjadi penerusnya, lalu bagaimana di masa depan, siapa yang akan melanjutkan? Sebuah pemikiran bagi penulis dan terbesit untuk belajar agar bisa menjadi seperti mereka dan menjadi penerusnya,,,,
Selasa, 25 Juni 2013
Minggu, 23 Juni 2013
2K = kesadaran dan kesampaham
Timbunan sampah di median jalan di Komplek Juanda 8 Samarinda, merusak nuansa asri pepohonan disepanjang jalan.
Foto Timbunan sampah ditempat yang sama dengan dengan gambar 1, namun ada yang berbeda digambar ini, tumpukan sampah tersebut dilatari sebuah spanduk kecil berupa himbauan atau larangan membuang sampah sembarangan.
sangat memprihatinkan melihat ruas jalan di komplek juanda 8 yang begitu asri dengan ditumbuhi deretan pepohonan hijau, harus cemari dengan tumpukan sampah yang seharusnya tidak dibuang didaerah tersebut, karena ruas jalan tersebut bukanlah TPS (Tempat Pembuangan Sementara). dan yang membuat hati miris adalah kesadaran masyarakat yang membuang sampah disana, walaupun tempat tersebut sudah dipasang himbauan dilarang membuang sampah disana, masih saja ada tumpukan sampah tiap paginya. mungkin masalah seperti tergambar dalam foto diatas tidak hanya terjadi di ruas jalan komplek juanda 8 saja, bisa jadi ada puluhan tempat atau bahkan ratusan yang terjadi di Samarinda. jika hal ini tidak segera tertangani dengan baik akan semakin menambah permasalahan samapah ddi kota ini. saat ini di Kota Samarinda tak kurang 300 dari 700 ton produksi sampah harian di Samarinda tak terangkut oleh 28 dump truck Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP), ke-28 dump truck yang ada hanya mampu mengangkut 400 ton perhari. Data jumlah produksi sampah harian di Samarinda seperti yang terangkum di data Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) yang merujuk pada Standar Nasional Indonesia (SNI), yakni tiap warga diasumsikan menghasilkan 0,75 kg sampah. dengan jumlah warga kota Samarinda saat ini 938 ribu jiwa, maka tumpukan sampah samarinda perharinya mencapai 700 ton. melihat hal ini tentu kita harus meningkatkan kesadaran membuang sampah pada tempatnya dan membuang samapah tepat sesuai waktu yang telah ditetapkan. dan mari bersama-sama kita kurangi produksi sampah seminimal mungkin dengan melakukan kesaktian 3R (Reduce, Reuse, dan Recyle)
Sabtu, 22 Juni 2013
Kesehatan dan keselamatan nenek
Foto seorang nenek yang telah tak berdaya dibantu oleh anaknya menaiki sepeda motor setelah usai berobat di RS. Dirgahayu Samarinda.
tidak ada pilihan kendaraan lain bagi seorang nenek yang usianya berkisar anatara 70 sampai dengan 80 tahun ini, selain dengan kendaraan roda dua untuk pulang kerumah setelah berobat di RS. Dirgahayu Samarinda. nenek yang terlihat sudah susah untuk mengerakan kakinya berjalan terlihat dipandu oleh anak dan cucunya dari instalasi Unit Gawat Darurat (UGD) menuju ke depan tempat dimana sebuah sepeda motor sudah menunggunya, dengan dibantu anaknya nenek menaiki sepeda motor tersebut dan sang cucupun siap menjaga nenek terseebut dari belakang, alhasil mereka harus berbonceng 3 mengendarai sepeda motor tersebut, dan disayangkan lagi yang menggunakan helm hanyalah pengendara, sedangkan nenek dan cucunya tanpa menggunakan safety apapun. entah apa yang dipikirkan oleh keluarga ini sebagai pertimbangannya, ekonomi atau apa???kalau dipikir-pikir nenek tersebut sebenarnya masih bisa pulang dengan naik angkot yang lebih aman tapi memang sedikit lebih kurang praktis karena harus ke depan untuk mencari angkot, tapi jika dibandingkan dengan naik motor dengan kondisi diatas akan sangat lebih berbahaya, bagaimana jika terjadi kecelakaan?karena harus berbonceng tiga, kemudian apa yang akan terjadi dengan sang nenek? sudah sakit kemudian tidak sama sekali mengenakan pelindung kepala, apakah kesadaran keluarga inii sudah begitu rendah? bisa saja keluarga ini menjadi gambaran keluarga-keluarga lain masyarakat kota Samarinda.
Langganan:
Postingan (Atom)